Ruangan itu sudah siap untuk diisi 40 orang. Delapan meja lengkap dengan kursi-kursinya menyambut kami yang hanya datang berlima. Selepas azan Ashar, saya dan para petugas haji lainnya memang diundang oleh Akademi Masjid Nabawi untuk menghadiri pertemuan sosialisasi perihal sejarah perkembangan masjid.
Saya memaksakan diri untuk hadir karena sudah sempat mewawancarai seorang asisten imam masjid asal Cianjur. Tidak elok jika tak menghadirinya.
Seorang juru dakwah perwakilan Masjid Nabawi, Muhammad Shabbagh, memulai pertemuan. Dengan gamis dan serban merah kotak-kotak khas Saudi, pria muda itu mengapresiasi kedatangan kami meski cuma berlima.
Shabbagh tak bisa berbahasa Indonesia. Karena itu, dia ditemani seorang mahasiswa Indonesia program doktoral yang berkuliah di Universitas Madinah. Namanya Haris Hermawan. Pria Bali tulen yang masih punya nenek beragama Hindu.
Shabbagh mengawali presentasi dengan menceritakan keutamaan Kota Madinah. Salah satunya, dia menukil sebuah hadis bahwasanya Madinah layaknya iman. Dia akan kembali seperti seekor ular yang kembali ke sarangnya. Redaksi lengkapnya begini: “Sesungguhnya iman akan kembali ke Madinah seperti seekor ular yang kembali ke lubang sarangnya” (HR Bukhari dan Muslim).
“Mengapa Madinah diumpamakan sebagai ular?” tanya Shabbagh dengan nada provokatif kepada kami. Setelah mendengar banyak jawaban, Shabbagh mengungkapkan, ular memiliki kebiasaan untuk selalu pulang ke sarangnya setelah pergi mencari makan.
Demikian pula dengan Madinah, kota yang menyebarkan cahaya iman ke penjuru negeri. Iman itu akan kembali ke kota itu dan menjadi lebih kuat dari sebelumnya. “Nabi Ibrahim mendoakan Makkah sebagai kota haram, begitu juga Nabi Muhammad yang mendoakan Madinah,”ujar dia.
Pada akhir presentasi, Shabbagh mengungkap perkembangan Masjid Nabawi yang menjadi ikon kota itu. Nabi membangun Masjid Nabawi setelah berhijrah ke Madinah. Lokasi yang menjadi tempat pembangunan masjid dipilih oleh unta beliau. Luas pertama masjid saat dibangun yakni 30 x 35 meter. Kala itu, masjid masih berkiblat ke Baitul Maqdis.
Saat Kerajaan Arab Saudi berkuasa, Masjid Nabawi dibangun secara besar-besaran pada 1372 Hijriyah. Pembangunan dilanjutkan hingga Nabawi menjadi masjid yang kita lihat seperti sekarang. Setelah perluasan berkali-kali, masjid ini memiliki luas 9,85 hektare. Daya tampungnya mencapai 657 ribu jamaah. Kapasitasnya belum ditambah halaman seluas 635 ribu meter persegi dengan daya tampung 450 ribu jamaah.
Saudi pun menjadikan Masjid Nabawi sebagai salah satu program Visi 2030. Program itu merupakan upaya Saudi sebagai tuan rumah bagi para peziarah dari Dua Masjid Suci.
Karena itu, pihak kerajaan terus menambah kapasitas Nabawi. Sabbagh menjelaskan, masjid Nabi itu akan memiliki kapasitas 1,5 juta jamaah.
Dilansir dari www.vision2030.gov.sa, program itu mengoptimalkan pelayanan terbaik bagi jamaah sekaligus memperkaya pengalaman keagamaan dan budaya mereka.
Wajar saja Saudi mengandalkan Masjid Nabawi sebagai salah satu magnet pariwisata. Target mereka untuk mendapatkan pemasukan dari sektor tersebut tidak main-main. Pada 2030, kontribusinya mesti 10 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Mereka menginginkan ada 100 juta wisatawan per tahun yang mengunjungi Ka’bah di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Dengan demikian, program tersebut pun menggerakkan roda ekonomi sehingga jutaan lapangan pekerjaan bisa tercipta.
Sederet target tersebut seakan menjadi pembenaran mereka untuk melonggarkan protokol kesehatan pandemi Covid-19. Baru-baru ini, pemerintah kerajaan telah mencabut mandat penggunaan masker di dalam ruangan. Keputusan itu disampaikan bahkan ketika jumlah infeksi Covid-19 terus naik melewati seribu kasus baru per hari setelah mencapai posisi terendah dua digit hanya dua bulan lalu.
Kebijakan itu disampaikan ketika kerajaan tengah bersiap untuk menyambut sekitar sejuta jamaah yang akan mengikuti ibadah haji yang sempat vakum selama dua tahun. Saya bisa menyaksikan tidak adanya kewajiban bermasker bagi jamaah yang ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi pada dua pekan terakhir. Hanya saja, saya berbangga melihat jamaah RI yang masih mengenakan masker.
Saya mengapresiasi betapa otoritas Saudi begitu ketat dalam memberikan persyaratan bagi jamaah haji pada tahun ini. Mereka diharuskan sudah mendapatkan vaksin dosis lengkap. Jamaah pun wajib menjalani tes PCR dalam kurun 72 jam sebelum keberangkatan. Jika hasilnya positif, pemberangkatannya bisa ditunda.
Sayangnya, upaya pengetatan tersebut justru dibarengi dengan pencabutan kewajiban bermasker di tempat tertutup. Menurut saya, kebijakan tersebut bak perjudian jika mengingat target besar dari Visi 2030 Saudi. Jangan sampai ekonomi kerajaan mati kembali akibat pandemi. Semoga kita semua bisa menjaga Madinah, kota tempat berpulangnya iman.
OLEH A SYALABIY ICHSAN dari Madinah, Arab Saudi
Sumber: Republika